Sedikit sekali remaja yang rela ngasih waktu mudanya buat ngemil
segala hal yang berbau karya ilmiah. Ya iyalah, hari gini gitu lho.
Kebanyakan remaja lebih suka kegiatan senang-senang. Yang seru-seruan
gitu deh. Tapi bagi Profesor Riset asal magelang ini, justru dunia
ilmiah adalah mainannya saat remaja. Nggak heran kalo beliau sukses
menggondol juara karya Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) LIPI tiga tahun
berturut-turut (1984-1986). Dan akhirnya, dunia ilmiah juga yang
mengantarkannya meraih gelar Doktor di Vienna University of Technology,
Wina, Austria pada tahun 1997 (usia 29 tahun). Berikut kutipan obrolan
kang Hafidz dari drise saat berkesempatan ngobrol dengan Dr. Ing. Fahmi
Amhar. Just cekidot!
- Boleh dong Pak cerita ke kita-kita gimana sih bisa dapetin gelar Dr di luar negeri gitu?
Dulu saya sekolah di kampung, di kota kecil Magelang, Jawa Tengah
hingga SMA. Tahun 1986 diterima di Jurusan Fisika FMIPA ITB. Pada saat
itu di Kantor Menristek juga ada seleksi
Overseas Fellowship Program
(OFP) untuk menjaring lulusan SMA yang mau dikirim belajar ke LN dengan
beasiswa ikatan dinas. Saya ikut test OFP ini juga. Alhamdulillah, test
akademis lolos. Pas psikotest di Jakarta, jadwalnya bersamaan dengan
daftar ulang di ITB di Bandung. Akhirnya yang psikotest OFP saya
tinggal. Setelah saya kuliah di ITB dua bulan, ternyata oleh Ristek
dipanggil lagi, untuk ikut psikotest susulan. Ya sudah, test lagi, tapi
tanpa beban.
Ya Allah kalau memang ini jalan yang membawa aku makin
dekat kepada-Mu, buatlah dia lancar, tapi kalau tidak, buat aku tidak
lulus sekarang juga.Alhamdulillah lolos.
Setelah lulus test OFP itu,kami harus kursus bahasa & IPA 6
bulan. Lalu ujian bahasa. Baru berangkat ke LN. Di sana kami test masuk
perguruan tinggi (jadi Sipenmaru lagi). Lalu kuliah. Alhamdulillah,
setelah 6 tahun, saya meraih gelar
"Diplom-Ingenieur", ini gelar
insinyur professional di Austria, Jerman, Swiss dan Perancis. Levelnya
setara dengan S1+S2 di negeri berbahasa Inggris. Enam tahun sepertinya
lama ya? Tapi saya mahasiswa nomor dua tercepat dari seluruh mahasiswa
di jurusan geodesi yang jumlahnya 70 orang, dan orang asingnya cuma 4
orang. Maka oleh Professor saya, saya lalu direkrut untuk jadi asisten
riset, sekaligus dapat mengerjakan program doktor saya. Saya masih perlu
4 tahun lagi untuk mewujudkan mimpi saya jadi doktor.
- Gimana ust melihat kondisi pelajar sekarang? Kanyanya tiap hari kita disuguhin potret buram pelajar melulu.
Ya, idealnya pelajar itu belajar, bukan cuma sekolah. Sekarang di
sekolah, anak-anak itu tidak merasa banyak belajar untuk hidup. Mereka
hanya di-
drill untuk lulus UN, atau masuk perguruan tinggi.
Padahal yang mampu ke Perguruan Tinggi baik dari sisi biaya maupun
kecerdasan kan tidak semua. Harusnya, sekolah itu tempat yang
menyenangkan. Karena guru-guru itu adalah
life-mentor untuk menghadapi kehidupan yang panjang. Boleh jadi para pelajar itu ingin, sekolah ngasih pengalaman
(experiential) dan suasana petualangan
(adventurial).
Karena mereka tidak mendapatkan dari sistem belajar-mengajar yang ada,
makanya mereka memberontak. Jadinya tawuran, kebut-kebutan, narkoba, de
el el.
- Sebenarnya, para pelajar sekarang tuh masih pada punya idealisme untuk menjadi yang terbaik dan berwawasan gak sih Pak?
Mereka sejatinya punya idealisme, mereka juga lebih senang kalau
menjadi yang terbaik dan punya wawasan. Tetapi, lingkunganlah yang
kemudian meniup mati idealisme ini. Mereka melihat lingkungan yang
buruk, tetapi koq dipertahankan? Orang-orang curang, koq akhirnya dapat
lebih banyak? Mereka meniru para elit negeri ini. Mereka melihat
guru-guru yang asal-asalan. Saya tidak bilang semua guru asal-asalan lho
ya. Banyak juga guru yang baik. Tetapi, pelajar yang amburadul ini
dapat dipastikan besar di lingkungan keluarga atau sekolah yang juga
amburadul. Tidak ada panutan. Tidak ada arahan kecuali hanya bentakan
atau makian, bukan teladan dan pendampingan.
- Kalo gitu, apa sih yang bikin prestasi para pelajar menurun? sistemikkah? atau sekedar personal?
Kalau di suatu sekolah, distribusi prestasi itu merata, ada yang baik
banget, top markotop lah, dan ada juga yang jelek, tetapi rata-rata di
tengah, maka itu berarti yang jelek itu personal. Tetapi kalau semua
buruk, itu buruknya pasti sistemik.
- Saat ini negara getol berusaha mendongkrak kualitas pelajar, diantaranya dengan pelaksanaan Ujian Nasional. Gimana tuh Pak?
Ujian Nasional saya kira hanya salah satu alat untuk mengukur
keberhasilan pendidikan. Tetapi dia tidak boleh jadi satu-satunya alat.
UN itu tidak bisa mengukur siswa yang kreatif, siswa yang punya
kemampuan memimpin, siswa yang punya jiwa enterpreneur, siswa yang
sholeh dsb. Juga pendidikan tidak bisa didongkrak hanya dengan UN. Agar
kualitas pendidikan naik, maka kualitas sekolah (gedung, lab, buku dsb)
harus dinaikkan juga. Kualitas guru juga harus naik, guru harus dibuat
sejahtera dan profesi ini harus dibuat bergengsi. Keberhasilan
pendidikan juga terkait dengan ekonomi. Banyak anak cerdas berniat
sekolah, dan sekolah sudah gratis, tetapi kondisi ekonomi orangtuanya
memaksa dia bekerja saja jadi buruh, karena kalau sekolah, adik-adiknya
kelaparan. Atau jarak rumahnya ke sekolah terlalu jauh, tidak ada
angkutan kecuali sangat mahal. Ini semua harus diperbaiki, baru kita
bisa menuntut kualitas hasil pendidikan meningkat.
- Banyak para pelajar kita yang sukses menggondol medali dalam
olimpiade sains tingkat dunia di tengah prestasi pelajar yang merosot.
Inikah oase di tengah padang pasir?
Bukan oase, tetapi tetes embun di tengah padang pasir. Ada teori
bahwa di setiap bangsa itu, Tuhan menciptakan 2,5% manusia dengan
kecerdasan jauh di atas rata-rata, tanpa memandang kelas sosial ataupun
level nutrisinya. Kalau bangsa Indonesia ini 200 juta jiwa, maka ada 5
juta orang yang kecerdasannya jauh di atas rata-rata. Kalau murid kelas
1-3 SMA itu ada 5 juta siswa, maka sejatinya ada 125.000 siswa yang
berbakat untuk diasah menjadi peraih medali emas di Olympiade Sains
tingkat dunia. Tetapi sebagian besar dari mereka tidak pernah
terdeteksi. Dan mereka yang akhirnya menjadi juara olympiade sains
itupun masih harus membuktikan, seperti apa kontribusi real mereka nanti
di masyarakat.
- Solusi seperti apa yang mesti ditempuh untuk meningkatkan prestasi dan kualitas pelajar?
Pertama, bisa dimulai dari pelajar itu sendiri, atau orang tuanya, atau kakaknya, atau gurunya. Berikan contoh yang terbaik. Itu saja.
Kedua,
dimulai dari media massa (terutama televisi). Berikan tayangan-tayangan
yang menggugah, menginspirasi, bukan hanya hiburan yang dangkal dengan
target-target komersial jangka pendek.
Ketiga, ini harus dari
penguasa, minimal dari Pemda yang sekarang punya otonomi mengurusi
sekolah. Seleksi gurunya yang benar, Proaktif meninjau sekolah yang
fisiknya perlu ditingkatkan, Beri jaminan agar seluruh siswa dapat
tersalurkan bakat positifnya. Semua anak itu punya bakat positif. Tidak
harus semua jadi sarjana. Tetapi semua harus jadi manusia yang berguna.
- Apa pesan dan motivasi Pak Fahmi untuk temen-temen pembaca drise?
Hidup yang terbaik itu adalah hidup untuk memberi yang sebanyak-banyaknya, bukan menerima yang sebanyak-banyaknya. [341]
BOX:
Biodata Singkat
Nama : Dr. Ing. Fahmi Amhar
Profesi : Ahli Peneliti Utama bidang Sistem Informasi Spasial di BAKOSURTANAL
: Dosen pasca Sarjana IPB dan Universitas Paramadina
: Trainer TSQ
Sumber: http://drise-online.com/interview/160-dr-ing-fahmi-amhar-tidak-harus-semua-jadi-sarjana-tetapi-semua-harus-jadi-manusia-yang-berguna.html